Hari itu Sabtu tanggalnya aku lupa, dipertengahan tahun 1985, sehabis jam
kerja aku bergegas ketempat kost, Sholat Dzuhur dan Asar dengan Jamak Qosor dan
berkemas untuk pulang ke Delanggu dimana anak istriku menunggu. Oh ya, Delanggu
adalah sebuah kota kecil antara kota Solo dan Klaten. Dulu lebih dikenal
dengan beras rojolelenya, beras enak, empuk, pulen dan wangi, nglenyer …… rasanya.
Aku bekerja pada suatu instansi pemerintah di kota
Wonosobo, suatu kota
di lereng pegunungan Dieng yang terkenal penghasil sayur mayur terutama Kentang.
Sebagai kota
pegunungan hawanya dingin bahkan terlalu dingin buat orang seperti aku yang
berasal dari daerah panas. Apalagi pada puncak kemarau bulan Juli sampai Agustus
sangat dingin menusuk tulang. Bahkan dipuncak pegunungan Dieng sering turun
embun salju. Karena dinginnya udara maka embun yang menempel di dedaunan
membeku …… bak jamur putih, jamur upas …… begitu penduduk setempat menyebutnya.
Datangnya embun salju merupakan bencana bagi petani karena tanaman sayuran yang
terserang embun salju akan layu dan mati. Dalam musim seperti itu kadang-kadang
untuk sementara peduduk cukup mandi seminggu sekali …… dingin.
Namun dibalik itu semua, Dieng mempunyai pesona alam yang sangat
menakjubkan dengan beberapa telaga yang indah dan peninggalan purbakalanya.
Maka tidak aneh kalau Dieng menjadi tujuan wisata tama …… ramai. Oh ya,
Wonososbo juga terkenal hujannya. Kalau musim hujan tiba hampir tiada hari
tanpa hujan. Menjelang siang dapat dipastikan hujan datang, terkadang sejak
pagi hujan terus, sedino mbetetet kata penduduk, maka tidak heran kalau
terlihat orang lalu lalang dengan menenteng payung, pepatah mengatakan …… sedia
payung sebelum hujan …… memang dipraktekkan dengan konsisten oleh orang-orang
di Wonosobo.
Oh ya…… pada waktu itu menurutku Wonosobo adalah kota
yang indah dan bersih, taman-taman dengan bunga beraneka ragam tertata rapi di
sepanjang jalan kota.
Bahkan disekitar pasarpun tidak kelihatan sampah yang menggunung juga diterminal
bus antar kota
pun sangat bersih …… tidak seperti pasar dan terminal dikota-kota lain dimana-mana
sampah menggunung jorok dan kotor, bau pesing tak tertahankan karena para sopir
biasa kencing sembarangan dan roda bus menjadi kobannya. Apalagi dimusim
kemarau bau kencing dipanas terik matahari tak tertahankan serasa tak bisa
bernafas.
Pada waktu itu terminal Wonosobo sangat bersih, belum pernah kujumpai
terminal sebersih itu meski pedagang kakilima dan asongan banyak, tetapi mereka
tidak mau buang sampah sembarangan, karenanya para musafirpun akan merasa sayang
kalau membuang sampah atau puntung rokok maupun bungkus makanan tidak pada
tempatnya. Melalui pengeras suara tiada henti hentinya petugas mengingatkan
agar tidak membuang sampah sembarangan. Bahkan
kalau ada bungkus kacang atau arem-arem tercecer, maka penjual kacang
atau arem-arem wajib memungutnya. Terlihat pula petugas kebersihan yang gajinya
konon hanya cukup untuk menghidupi keluarganya seminggu, selalu semangat menyapu.
WC umum dan toiletnya pun bersih dan wangi, menyebabkan orang rela merogoh
kantongnya untuk membayar retribusi. Alangkah baiknya kalau kota tujuan wisata utama seperti Solo dan
Jogya mencontohnya.
Tapi sayang seperti kota-kota lain, Wonososbo juga tidak sepi dari
penjahat dan pencuri apalagi diterminal dan kendaraan umum yang penuh sesak
bahkan diatas dokar pun copet dapat beraksi, yang konon kalau tertangkap
paginya sudah lepas kembali …… Oh ya di Wonososbo tak ada angkutan becak, jadi
bersiaplah anda untuk kecopetan dalam bus, oplet atau bahkan dokar bila tidak
membawa kendaraan sendiri atau siap jalan kaki. Oh ya …… aku kok jadi ngelantur
……
Siang itu sesampainya diterminal penumpang cukup banyak bus jurusan Purwokerto, Semarang atau Solo yang ditunggu tak kunjung
datang, biasa …… terlambat. Aku memutuskan untuk menunggu diwarung tegal sambil
mengisi perut bekal perjalanan sampai sore hari, warung langgananku itu kecil
sederhana tapi bersih, mereka yang makan berlangganan biasa ambil sendiri-sendiri masakan jawa asli
nikmaaaaaaaaaaat. Seperti biasa aku ambil nasi dengan sayur lodeh, tempe dan keripik teri
menu favoritku.
Tiba-tiba masuk seorang pemuda bercelana jins dekil, rambut acak-acakan
tampaknya tidak pernah disisir, hanya diikat sekenanya kebelakang. Tanpa basa-basi
ia ambil nasi dan lauk pauk dan sroooog …… ia duduk dengan bersilang kaki satu
bangku denganku. Terbersit tuduhan jahat dalam hatiku; Ini pasti salah satu
preman atau pencopet, pencuri yang sering beraksi diterminal ini. Bukankah
mereka sering beraksi jika penumpang padat seperti ini. Rupannya ia perlu mengganjal
perut sebelum beraksi. Begitulah kata hati ku melihat tampang dan
penampilannya. Aku beringsut agak mejauh senantiasa mewaspadai tas dan uang
yang tinggal pas buat perjalanan pulang. Dalam hatiku juga berbisik; awas kalau
ia berusaha mengambil bawaanku akan kutangkap. Keberanianku bertambah melihat
bodinya yang kurus kering, sedang aku tinggi besar dengan berat lebih dari 75
kg. Sambil makan aku waspada dengan melirik kekiri, dimana aku mulai duduk
dan mulai makan.
Aku tersedak …… mataku terbelalak …… Apa yang kulihat? Bagaikan disambar
geledek aku terkejut setengah mati, seolah tak percaya pada penglihatanku.
Hatiku yang sudah sejak semula dihinggapi Suudzon
melihat penampilannya. Aku lupa bahwa Allah tidak hanya melihat kulit atau dzohirnya saja, tetapi lebih kepada
hatinya. Kulihat orang itu membetullkan duduknya dengan takdzim sebelum mulai makan dan mulutnya komat-kamit berdoa. Subhanallah …… mana ada pencopet atau
maling sebelum makan berdoa. Mana ada penjahat ketika akan mulai sesuatu
berdoa? Malu aku sudah menuduh orang sebaik dia dengan tuduhan jahat, hanya
karena penampilan. Malu rasanya diriku yang merasa menjadi orang baik ternyata
jauh lebih hina, nafsu masih mewarnai setiap perbuatan kita, bahkan mengucap Basmalah pun sering lupa ketika akan
makan …… apalagi perbuatan lainnya. Solo …… Solo …… Solo!!!
Tiba tiba teriakan manol terminal membuyarkan lamunanku, cepat-cepat aku
membayar jajanku, kusambar tasku dan berlari ke bus yang baru datang. Alhamdulillah dengan perjuangan yang
agak keras akhirnya dapat tempat duduk juga, segera kubuka jendela agar udara
pengap berkurang. Pikiranku masih melekat
pada peristiwa diwarung makan tadi, sesal masih mengganjal dalam hatiku.
Mengapa tak sempat aku meminta maaf atas sikapku tadi, mengapa tak sempat aku menyapanya,
mengapa …… mengapa …… mengapa ……? Begitu
banyak penyesalan bergelayutan dalam pikiranku.
Kulempar pandanganku keluar bus ……
tampak hijaunya bermacam tanaman sayur mayur dan buah-buahan pegunungan, disamping
keindahan alam pegunungan yang melupakan ingatanku dari penyesalan kepada
kemahakuasaan-Nya menciptakan alam semesta nan indah. Hatiku kemudian menjadi
tentram teringat Tuhan juga Maha Pengampun …… Mudah-mudahan Ia
mau mengampuni dosa-dosaku, kehilafanku, terutama dosaku pada orang diwarung
tadi, Amin.
Semilirnya angin pegunungan membawaku kealam tidur dibuai oleh guncangan
dan ayunan bus dalam kelokan.
Kartosuro …… Kartosuro …… Kartosuro!!! Kernet membangunkanku, bergegas aku
turun berganti bus yang menuju Delanggu.
0 comments:
Posting Komentar