Tulisan tersebut embrionya adalah ujaran yang disampaikan oleh salah satu shohib dalam acara temu netizen JariMU ( Jaringan Radio Muhammadiyah se Indonesia yang dilaksanakan beberapa waktu lalu di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), yaitu Muhammadiyah Garis Lucu, diungkapkan ada seseorang yang orangtuanya adalah tokoh Muhammadiyah kemudian anaknya ngotot ingin menjadi Muhammadiyah kultural. Berangkat dari itulah maka Saya mencoba untuk menarik kata-kata tersebut dalam sebuah tulisan baru dengan judul MUHAMMADIYAH MISSING LINK ,missing link bagi sebagian merupakan istilah yang tidak familiar di dengar oleh telinga-telinga awam, missing link atau hilang atau absurnya garis keturunan secara vertical yang dalam konteks tulisan ini adalah tidak adanya garis keturunan dari orang tua yang mewariskan roh Muhammadiyah kepada anak cucunya. Mengapa missing link ? dalam sebuah diskusi ringan dalam sebuah obrolan di lincak sebuah rumah, seorang shohib menyatakan heran ada sebuah keluarga yang semuanya, maksudnya kakek nenek, ayah ibu dan saudara-saudaranya adalah tokoh Muhammadiyah. Namun dalam pergeseran klan, waktu dan pikiran, mungkin karena adanya sosialisasi di tempat baru, maka ada salah satu anaknya tidak meneruskan gerakan Muhammadiyah di Muhammadiyah yang sudah diperjuangkan oleh kedua orangtua mereka . justru aanak-anaknya aktif di ormas tetangga sebelah.
Muhammadiyah Missing link atau hilangnya garis keturunan atau “trah” Muhammadiyah dalam keluarga, bisa saja terjadi dan mewabah meracuni gerakan kita, dalam hitungan menit bahkan detik. Sebagai orangtua yang saat ini aktif di Muhammadiyah, sebaiknya selalu menanamkan doktri-doktrin dan membumikan roh Muhammadiyah dalam anak-anak kita. Kita harus tegas dan jelas dalam memberikan tuntunan dan tauladan kepada anak-anak kita tentang bermuhammadiyah yang kaffah. Terkadang ketika kita sudah enjoy di Muhammadiyah, lupa bahwa garis keturunan kita, baik secara genotif, fenotif maupun filogenotif tidak diajak total dalam kegiatan gerakan muhammadiyah.
Ketika ada pertanyaan “ Mengapa anak-anak kita tidak diajak aktif di Pemuda Muhammadiyah, Nasyiatul Aisyiyah ? sebagai orangtua, kita sering memberikan jawaban “ biarlah anak-anakku konsentrasi sekolah atau kuliah dulu, besok kalau sudah lulus atau wisuda biar aktif di Muhammadiyah ”. jawaban itu yang sering aku dengar. Ketika ada pengurus Muhammadiyah atau Aisyiyah secara total aktif dalam berorganisasi akan tetapi anak-anaknya tidak aktif maka ini akan menjadi kepincangan dalam silsilah organisasi dan akan menjadi sorotan bagi warga Muhammadiyah. Ujung-ujungnya adalah munculnya Muhammadiyah Missing Link.
Namun ketika anak-anaknya sudah lulus atau wisuda, maka dengan serta merta orang tua tadi merengek-rengek kepada pimpinan amal usaha agar menerima anak-anaknya menjadi pegawai amal usaha tersebut. Jelas sangat kontraproduktif, disaat Muhammadiyah membutuhkan kader penerus estafet kepemimpinan, mereka melarang anak-anaknya untuk berorganisasi di Muhammadiyah dengan alas an masih sekolah atau kuliah, namun disaat sudah lulus, mereka mendesak agar anaknya diterima di amal usaha dengan alas an “ Saya telah berjuang lama di Muhammadiyah”.
Muhammadiyah tidak ada istilah berjuang, karena kata-kata berjuang ujungnya adalah akan meminta balasan. Ber Muhammadiyah adalah kesadaran diri untuk ikhlas mencari pahala Illahi. Ketika Saya bertamu di salah satu Shohib, ada foto anak-anaknya disitu tertulis : “ Anak-anakku, Kamu harus besar di Muhammadiyah…Kamu Harus membesarkan Muhammadiyah…Dan Kamu Jangan hidup pada Kebesaran Muhammadiyah “. Saya tertegun kemudian berfikir memaknai filosofisnya, dari ketika cuilan kata-kata tersebut, ada makna secara inplisit dan eksplisit yang cukup bernotasi. Pertama adalah sebagai orang tua ia selalu memwarning kepada anak-anaknya agar ikut serta membesarkan Muhammadiyah di lingkungan primer maupun lingkungan sekundernya, yaitu dilingkungan keluarga dan masyarakatnya. Kedua sebagai orangtua, ia selalu berpesan agar anak-anaknya tetap Muhammadiyah, dalam bahasa gaulnya adalah Muhammadiyah banget baik luar maupun dalam.
Ketika ada pertanyaan “ Mengapa anak-anak kita tidak diajak aktif di Pemuda Muhammadiyah, Nasyiatul Aisyiyah ? sebagai orangtua, kita sering memberikan jawaban “ biarlah anak-anakku konsentrasi sekolah atau kuliah dulu, besok kalau sudah lulus atau wisuda biar aktif di Muhammadiyah ”.
Ketiga adalah sebagai orangtua, ia berpesan kepada anak-anaknya agar tidak hidup di Muhammadiyah namun tetap menghidupi Muhammadiyah. Yang jelas bermuhammadiyah itu harus memahami konsep filososfis budaya jawa kita yaitu “ aku arep ngopo…jangan… aku ngarep-arep upo “. Selamat berjuang…Fastabiqhul Khairat.
Dwiwignya
MPI PCM Delanggu
0 comments:
Posting Komentar