PKU Muhamamdiyah Delanggu
News

Menakar gerak politik Muhammadiyah

Politik praktis bukan wilayah Muhammadiyah. Namun, Persyarikatan Muhammadiyah tidak alergi politik. Hal itu tertulis dalam klausul Kepribadian Muhammadiyah 1962.

Pernyataan tertulis itu tampaknya perlu kembali dimunculkan di tengah tahun politik. Perbincangan politik Muhammadiyah mengemuka saat mantan Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Prof. Dr. M. Amien Rais angkat suara tentang pilihan politik Muhammadiyah. Mantan Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah akan menjewer Dr. Haedar Nashir, jika tetap pada pendirian netral dalam hal politik.

Sebelumnya, Ketua Umum PP Muhammadiyah (2015-2020) menyerahkan pilihan politik kepada warga Muhammadiyah. Sikap itu kemudian dikritik oleh Amien Rais.

Pak Amien, begitu beliau biasa disapa, dengan lantang menyebut bahwa calon presiden dan calon wakil presiden hanya dua pasang, sehingga Muhammadiyah harus menentukan sikapnya.

Namun, Muhammadiyah sampai saat ini masih berpegang teguh pada khittahnya sebagai organisasi sosial kemasyarakatan. Sebagaimana dalam Kepribadian Muhammadiyah, organisasi ini bukanlah partai politik, namun bukan berarti Persyarikatan antipolitik dan tidak paham politik.

Selaras dengan hal itu, Haedar Nashir dalam Muktamar Pemuda Muhammadiyah beberapa waktu lalu menegaskan akan tetap membawa Persyarikatan pada khittahnya. Khittah sebagai gerakan amar ma’ruf nahi munkar, mewujudkan masyarakat Islam yang sebenar-benarnya.

Pertanyaan yang muncul kemudian adalah bagaimana Muhammadiyah bersikap dalam konteks politik kebangsaan?

Kerja peradaban
Khittah Denpasar 2002 menyebutkan bahwa “Muhammadiyah senantiasa memainkan peran politiknya sebagai wujud dari da’wah amar ma’ruf nahi munkar dengan jalan mempengaruhi proses dan kebijakan negara agar tetap berjalan sesuai dengan konstitusi dan cita-cita luhur bangsa. Muhammadiyah secara aktif menjadi kekuatan perekat bangsa dan berfungsi sebagai wahana pendidikan politik yang sehat menuju kehidupan nasional yang damai dan berkeadaban”.

Khittah itu memperkuat gagasan Kepribadian Muhammadiyah yang menyebutkan bahwa peran serta Persyarikatan adalah membangun keadaban politik. Kerja Muhammadiyah bukan dengan cara atau gaya partai politik.

Kerja peradaban Muhammadiyah, mengutip pendapat Zakiyuddin Baidhawy, adalah memproduksi opini publik secara terus menerus untuk memberikan tekanan kepada penguasa. Ruang publik adalah ranah deliberasi yang diberdayakan oleh Muhammadiyah untuk mendiskusikan kepentingan-kepentingan publik (maslahah ‘ammah) bangsa ini dan bagaimana cara meraihnya.

Dalam kerangka aktualisasi inilah Muhammadiyah, dalam bahasa Gramsci, mampu mendemokratiskan dan memoderasikan negara dalam rangka menegakkan pluralitas dan menghargai multikulturalitas dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, serta memelihara keadaban dalam proses kehidupan bersama (baca: politik sebagai seni mengatur kehidupan bersama (Azaki Khoirudin dan Faozan Amar, ed: 2018)

Gagasan politik
Politik dalam pandangan Muhammadiyah bukan turut serta berkecimpung/bergulat dengan hiruk pikuk perebutan kekuasaan. Perebutan kursi dan kuasa adalah wilayah partai politik (parpol). Biarlah pilar demokrasi itu bermain dengan iramanya. Muhammadiyah mengambil sikap mendidik warga bangsa dan terus memproduksi wacana, sikap, dan moralitas politik yang santun dan beradab. Inilah irama Muhammadiyah.

Mengapa sikap itu yang diambil? Pasalnya, menurut Ahmad Syafii Maarif dalam pengantar buku Muhammadiyah dalam Dinamika Politik Indonesia 1966-2006karya Syarifuddin Jurdi (2010), moralitas dalam politik Indonesia hampir punah dalam praktik politik elite-elite politik berkuasa. Elite berkuasa semakin jauh dari aspirasi masyarakat. Kehidupan elite berkuasa semakin menunjukkan kemewahan dan kemegahan di tengah penderitaan masyarakat luas.

Tugas Muhammadiyah dengan konsep kader Persyarikatan, kader umat, dan kader bangsa, dapat memberikan kontribusi bagi pembangunan politik Indonesia yang beradab, bermoral, dan berpihak kepada kepentingan rakyat. Muhammadiyah harus mengembangkan gagasan politik yang prospektif bagi konstruksi Indonesia yang beradab serta kader yang memiliki visi kemanusiaan, keindonesiaan, dan kebangsaan.

Gagasan politik itu tidak harus dengan turut serta dalam hiruk pikuk pilihan nomor 01 atau 02. Muhammadiyah sebagai garda dan jangkar bangsa perlu memelihara kesatuan umat. Saat Muhammadiyah asyik masyuk dalam wilayah itu, maka akan ada ongkos yang harus dibayar mahal. Artinya, Muhammadiyah tidak akan bisa berteriak lantang saat pemerintahan terpilih melakukan kejahatan. Muhammadiyah pun tidak akan dapat menjadi penjaga moral umat dan bangsa saat harus kasak-kusuk dalam politik praktik.

Muhammadiyah tetap berdiri kokoh dan tidak terpengaruh oleh perebutan kuasa jabatan. Muhammadiyah tetap konsisten membantu dan memberikan sumbangsih nyata bagi pemerintah, bangsa, dan negara.

Ulul albab
Terkait pilihan presiden, warga Muhammadiyah dituntut menjadi ulul albab.Ulul albab berarti ia mampu membaca pesan tersirat dari pimpinan Muhammadiyah.

Dalam bahasa yang sedang in saat ini warga Muhammadiyah dituntut memiliki kecakapan higher order thinking skill (HOTS). Warga Muhammadiyah pasti tahu mana yang terbaik bagi bangsa.

Warga Muhammadiyah boleh mempunyai preferensi pilihan capres tertentu. Namun, mereka bertindak atas nama pribadi, dan tidak ada kaitan dengan Persyarikatan Muhammadiyah.

Pernyataan Pak Amien yang menjadi viral saat ini tidak akan mengubah sikap dan posisi Muhammadiyah dalam berpolitik. Muhammadiyah tetap pada khittahnya menjadi teladan dalam membangun politik berkeadaban.

Akhir tulisan ini saya tutup dengan pernyataan Muthoharun Jinan, Sekretaris Majelis Pendidikan Kader (MPK) PP Muhammadiyah, “Amien Rais politisi par excellent, digorang- goreng semakin mateng gak bakalan gosong. Haedar Nashir organisator ulung tahan banting dan teguh pendirian, gak bakal ke bawa arus. Mbok yang goreng sampai lemes, Muhammdiyah akan tetap kuat dan kenyal”.

Benni Setiawan, anggota MPK PP Muhammadiyah.

About khosimjo

0 comments:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.